Selasa, 14 Januari 2014

Kisah Bima Suci Part I


Pada kenyataannya, Begawan Durna memang lebih mencintai para Pandawa daripada Kurawa. Mungkin kalau kita menjadi Durna pun akan bertindak seperti itu. Sebagai guru Negara yang berkewajiban mendidik olah rasa dan kanuragan, maka Pandawa dan Kurawa berada dalam satu “kelas” yang sama menerima luberan ilmu sang guru. Seorang guru yang baik tentu tidak akan pilih kasih terhadap setiap muridnya. Namun sebagai seorang manusia biasa, sikap sayang kepada murid yang lebih taat dan pandai serta hormat kepada yang lebih tua dan juga gurunya, adalah sah-sah saja dan memang akan selalu begitu.

Secara kasat matapun sifat para Pandawa dan Kurawa dapat dilihat perbedaannya. Pandawa begitu santun, sebaliknya para Kurawa sebagian besar bersikap urakan. Para Pandawa bersikap sangat hormat kepada Sang Guru, sementara Kurawa meskipun tetap menjalankan ajaran gurunya, namun adakalanya menyepelekan dan mengabaikannya karena menganggap tidak berguna ilmu yang diperolehnya. Para Kurawa yang mengagungkan kedudukannya serta jumlah banyaknya, seringkali bertindak diluar batas sopan-santun dan jauh dari sikap satria. Apalagi, gosokan Sang Paman, Sengkuni, sepanjang waktu selalu mereka dengar sehingga lama kelamaan mengendap dalam hati dan mengkristal menjadi sebuah kebencian dan kecemburuan kepada adik-adik mereka para Pandawa.

Dalam hati kecilnya Durna dapat dipastikan lebih sayang kepada Pandawa daripada Kurawa. Dan adakalanya secara tidak sadar hal itu diungkapkan melalui perkataan dan tindakan, walaupun sebenarnya bertujuan untuk menyadarkan Kurawa. Namun hal tersebut justru membuat rasa tidak senang Kurawa semakin meluap dan menganggap bahwa perbuatan Durna sungguh tidak layak dilakukan oleh seorang guru. Durna ternyata pilih kasih dalam memberikan ilmu !

Hasutan Sengkuni semakin mengobarkan amarah Kurawa terutama Kurupati, si Sulung Kurawa. Apalagi diperlihatkan oleh Sang Paman, bagaimana mesranya hubungan sekarang-sekarang ini Antara Begawan Durna dengan Bimasena. Bima sering berjalan berdua dengan Durna, berbincang tentang segala hal. Bima sering menghadap kepada Durna untuk meminta penjelasan terhadap suatu hal yang belum dimengertinya.

“Tuh kan … keponakanku Kurupati, lihatlah betapa akrabnya Durna dengan adikmu Bima. Sungguh seorang Guru yang tidak layak ditiru. Pilih kasih ! Padahal sebenarnya dia-kan digaji dan dimulyakan oleh Kakang Destrarastra, ayahmu, namun dia malah lebih dekat kepada Pandawa. Apa kamu tidak merasakan hal itu, Kurupati !” hasutan Sengkuni mulai membakar amarah Sulung Kurawa itu

Dan pada dasarnya, di lubuk hati yang paling dalam Kurupati telah melekat erat kecemburuan dan rasa benci kepada Pandawa terutama Bimasena.

Kamis, 09 Januari 2014



Bima Sang Pejuang Sejati


Gambar : Bima Lare (Bima semasa remaja)

Ketika lahir, ia terbungkus. Segala senjata pusaka tak dapat memecahkannya. Atas petunjuk penasehat Negara, maka bungkus itu dibawa ke tengah hutan Tegrakan dan tergeletak disana selama bertahun-tahun. Anehnya, tak ada binatang buas yang mengganggu barang aneh tersebut, mendekatipun tak ada yang berani. Berbagai upaya telah dilakukan namun tidak berhasil hingga mengundang keprihatinan Sang Ayah dan ibundanya. Bahkan Kurawa yang dipimpin Si Licik dan Si Penghasut Sejati, Sengkuni, yang berniat menghabisi nyawa bungkus yang diramalkan bakal menjadi penghambat kelak, gatot alias gagal total setelah menghunjamkan segala senjata ke nyawa dalam bungkus itu dengan harapan nyawa didalamnya oncat dari jasatnya. Namun atas kehendak Yang Maha Kuasa, dia dapat keluar dari bungkusnya karena dibelah dengan gading seekor gajah yang bernama Sena, yang akhirnya menjanma kepadanya. Selanjutnya ia diberi nama Sena. 

Dan memang menjadi tak lumrah ! Betapa tidak, ketika muncul ke dunia sebagai manusia sebenar-benarnya, dia telah beranjak dewasa. Dan juga telah memiliki kakak dan adik yang juga telah dewasa. 

Dalam lakon Bale Sigala-gala, ia mendapat petunjuk dari Dewa, untuk menyelamatkan ibu dan saudara-saudaranya dengan mengikuti Garanganseta, musang putih malihan Raden Sanjaya putera dari Sang Widura (dalam versi lain Widura sendiri yang berubah wujud, ada juga yang mengatakan samaran Dewa Ular. Yang jelas bukan penjelmaan dari Tukul Arwana ataupun Soimah he he he). Setelah Garanganseta hilang ia sudah sampai di Kahyangan Saptapratala, kemudian ia kawin dengan Dewi Nagagini, putri dari Raja dan Dewa di Saptapratala, dan kemudian berputra Aria Anantaraja.

Selanjutnya dalam perjalanan keluar masuk hutan untuk menjauhi Astina, sampailah disebuah negri yang bernama Ekacakra. Pandawa dan ibunda Kunti menginap disalah satu rumah warga dan menyaksikan kegalauan warga yang menunggu saat esok hari untuk menyerahkan salah satu anggota keluarga menjadi santapan sang raja. Ternyata Raja Ekacakra adalah seorang kanibal ! Kemudian Raja raksasa Ekacakra, Raja Baka pun akhirnya tewas ditangan Sang Werkudara, yang berakibat kemerdekaan bagi rakyatnya akan kesewenang-wenangan pemerintahannya, menghilangkan ketakutan menjadi persembahan sang raja yang doyan daging manusia ! (lakon Bima bumbu)

Dalam lakon Jagal Bilawa ini dapat membunuh jagoan Sang Kenca dan Kencaka bernama Rajamala. Juga Sang Kenca dan Kencaka beserta tentaranya yang akan merebut kekuasaan Kerajaan Prabu Matswapati lebur punah oleh Sang Sena. Sebagai tanda terima kasih, para Pandawa mendapat hadiah hutan Endraprasta (Babad Wanamarta).

Dalam lakon Kangsa Adu Jago, ia pernah dipinjam oleh Prabu Basudewa, diadu lawan jagonya Kangsa yang bernama Suratimantra. 

Lakon Pandawa Timbang, ia mempunyai kesaktian dimana beratnya melebihi Kurawa yang seratus orang itu. 

Dalam ceritera Perlombaan Membuat Sungai Serayu antara Pandawa dengan Kurawa, ia memperoleh kemenangan. Dan kemudian ia kawin dengan Dewi Urangayu putri Resi Ganggamina, sehingga berputera Aria Anantasena.
Serta banyak lagi kisah heroik Sang Bima yang membesarkan namanya.
Siapakah dasanama Sang Pahlawan ini ?

Menurut Hatmasaputra (1967) dalam bukunya yang berjudul “Caking Pakeliran Wayang Purwa‟ dijelaskan arti nama Werkudara. 

Sena, artinya dahsyat, maksudnya seorang yang segala-galanya serba mendahsyatkan.

Dwijasena, artinya Dwija = Brahmana yang memberi pelajaran ilmu lahir dan batin, maksudnya ia adalah guru yang tak ada bandingannya. 

Bilawa, artinya besar dan tinggi (luhur). Nama ini dipakai pada waktu menyamar di negeri Wirata. 

Bharatasena, artinya keturunan Bharata yang amat dahsyat tiada taranya di dalam segala hal. 

Bima, artinya gagah perkasa. Memang ia adalah gagah perkasa. 

Werkudara, artinya werka = anjing hutan dan udara = perut. Maksudnya perutnya sangat kuat seperti perut anjing hutan. 

Kowara, artinya termashur, memang namanya sangat mashur. 

Nagata, artinya nyata. Ia berpendirian kepada kebenaran dan kenyataan serta sangat bersahaja. 

Kusumadilaga, artinya kusuma = bunga bangsa (ksatria), di = lebih/baik, laga = perang. Maksudnya ksatriya yang ahli tentang peperangan. 

Bayusuta, artinya bayu = kekuatan suta = anak, maksudnya ia terbilang putera Bayu. (Dalam pedalangan dikenal istilah Kadang Bayu, Saudara Bayu, yaitu Begawan Maenaka, Yaksendra, Jajagwreka, Nagabasuki, Garuda Mahambira, Anoman)

Kusumayuda, artinya yuda = perang, maksudnya bintang medan perang.

Birawa, artinya Besar dan menakutkan.

Gandawastratmaja, Gandawastra adalah sebutan Sang Pandudewanata, atmaja = anak, maksudnya putera Pandu.

Dandun, artinya teguh atau bertanggung jawab, Maksudnya teguh hati dan konsekwen. 

Wayuninda, artinya Wayu (Bayu) = kekuatan, ninda = angin, maksudnya mempunyai prebawa angin (tanda bayu). 

Jayadilaga, artinya jaya = unggul, di = amat/lebih/baik, laga = perang, maksudnya dipeperangan selalu mendapat kemenangan.

Wijayasena, artinya wija = wijang/pilah/pilihan/dibawah/terpendam; Sena = dahsyat, maksudnya ksatria yang pendiriannya mendahsyatkan.

Itulah Werkudara ! Perang, pertempuran, perkelahian seakan menjadi default kehidupannya. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang dibanding dengan kakaknya Yudistira serta adik-adiknya Arjuna, Nakula dan Sadewa, seakan sebagai perlambang bahwa dirinyalah yang menjadi pengayom saudara-saudaranya itu. Dan pada kenyataannya, Sang Bima memang selalu berada terdepan menjadi pelindung yang tak kenal rasa takut dan kata menyerah untuk melindungi Pandawa dan memperjuangkan visi dan misi gapai hidup sejati.

Rabu, 08 Januari 2014

 Janturan Jejer Negari Ngastina    

Swuh rep data pitana, swuh iku werdine sirna, rep ninggih swasana tentrem, data hangesti, pitana iku luhur. Sirna kang memala, mahanani jagad tentrem, lamun kita hangesti marang luhuring budaya. Duho menika wewangson kina gegambaraning wayang purwa, bebasan darda pendhak kala sirna, rahayu kang kaesthi, rahayu sagung dumadi. Para Pandhita giyah nganggit pangandikaning Jawata, ginantha dadiya carita, ninggih menika binukaning duwara wiwit wayang ginelar suh sesuluh lumantar gancaring sekar.
Hanenggih negari pundi ingkang minangka purwakaning carita, lah menika ingkang sinebat negari Ngastina ya negari Gajahoya. Mila kinarya bebuka ngupayaa negari satus datan antuk kalih, sewu tan antuk sedasa. Mila winastan negari Ngastina satuhu kedhatone Prabu Hastimurti. Marma winastan Negari Gajahoya yekti yasanira Sang Gajahoya ing nguni.
Wenang sinebat negari ingkang panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja. Panjang dawa pocapane, punjung luhur kawibawane, samodra, wukir gunung, dene negari ngungkuraken pagunungan, ngungkuraken pasabinan, nengenake benawi, ngayunaken bandaran ageng, loh sugih sumber toya, marma tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinimbas. Gemah kang laku dagang rina wengi selur tan ana pedhote, labet tan ana sang sayaning  marga. Ripah janma kang samya gegriya salebeting praja jejel apepet tepung cukit aben taritis, papan wiyar katingal rupak awit saking harjaning negari. Karta kawula ing padhusunan samya ayem tentrem atine, mungkul pangolahing tetanen, ingon-ingon  raja kaya kebo, pitik, iwen yen rina aglar ing pangonan, kalamun wanci sore pada mulih marang kandhange dewe-dewe, data nana carane kandhang nganggo pepalang, lawang kinancingan, labet ana durjana juti. Raharja tebih ing parangmuka, dene para punggawa mantra bupati datan ana ingkang samya lampah cecengilan, sedaya samya atut rukun sahiyek saeka kapti denira ngangkat karyaning praja.
Winastan agung awit Negara kang gede obore, padhang jagade, jero tancebe, dhuwur kukuse, adoh marang kuncarane, boten namung praja ing kanan kering kewala ingkang sumuyud, senadyan ing tebih-tebih tanah sabrang kathah ingkang sami sumawita datan karana bandayuda. Bebasan ingkang celak mangklung , ingkang tebih tumiyung, samya mara seba, atur bulu bekti myang glondhong pangareng-areng, peni-peni raja peni  guru bakal guru dadi luminter tan ana kendhate lumados ing saben warsa
Wenang den ucapno jejuluk nata ing Ngastina, ajejuluk Prabu Duryudana, ya Prabu Suyudana, ya Parabu Jaka Pitana, ya Prabu Dhestarastaputra, ya Prabu Gendariputra, ya Prabu Kurupati, ya Prabu Trimamangsah. Mila Ajuluk Prabu Duryudana tuhu dadya makuthaning prajurit. Mila jejuluk Prabu Suyudana, suyud pepengil dana marang paweweh, sayekti agung dedanane nata ing Ngastina. Mila jejuluk Prabu Jakapitana, dene gyanira jumeneng nata taksih wewujang dereng nambut ing akrama  silaning pramada. Mila jejuluk Prabu Dhestarastaputra dene putrane Prabu Dhestarasta. Mila Jejuuk Prabu Gendariputra pranyata putrane Dewi Gendari. Mila jejuluk Prabu Kurupati dene ngratoni trahing bangsa Kuru. Mila jejuluk Prabu Trimamangsah, tri telu stya wacana, lila ing brana, sura ing pati, mamangsah wus amastani.
Dene lelabuhaning nata paring sandang wong kawudan, asung pangan wong kaluwen, aweh banyu wong kasatan, tulung teken wong kalunyon, paring kudung wong kepanasan, asung payung wong kodanan, hamaluyakake wong sakit, karya sukaning kang nandhang prihatin. Lampahing pangadilan praja anindakaken sama beda dana dendha, lire boten ambau kapine, yen sampun leresing kapidana senadyan putra sentana myang keluarga, boten wigah-wigih lajeng katrapan ing pamisesa. Nanging uga berbudi bawaleksana, lire berbudi lila legawa ing driya, tansah anggeganjar  ngulawisuda. Bawaleksana hanetepi pangandika, punapa ingkang sampun kadhawuhan boten kenging oncat tetep kalampahan. Yen ta ginunggunga lelabuhaning nata, wiyaring laladan sedalu tan ana pedhote, pinunggel ingkang murweng kawi sinigeg.
Nuju ing Hari Respati, sang Nata miyos siniwaka aneng sitinggil binaturata, lenggah ing dhampar denta, pinalipit ing kencana, pinanthik, ing sesotya retna, lemek babut permadani, sinebaran sari-sari ginadawida jabat kasturi. Ginarebeg ing badhaya srimpi biyada manggung ketanggung, jaka palara-lara ingkang samya ngampil upacara nata, banyak dalang, sawunggaling, ardhawalika, kacumas, dwipangga, ingkang sedaya saking kencana bebakalan.
Sang nata kinebutan laring manyura saking kanan kering, kongas gandaning nata ngantos dumugi ing pangurakan. Sirna kamanungsane lir pendhah Sang Hyang Sambu ngejawantah den ayap para widadari.
Rep sidem premanem tan ana swabawane  walang ngalisik, gegodhongan tan ana obah, samirana tan lumampah, amung lamat-lamat  kapiyarsa swaraning pradangga munya anganyut-anyut, lan unining manuk engkuk, jalak kang mencok panging  waringin. Miwah swaraning panambut karyaning para abdi pandhe gendhing kriya  kemasan, cakapireng cat boten  saking pangkilan, patih carengkling imbal ganti ngemu wirama, saya muwuhi asri rarasing  pangkilan.
Sinten ta  ingkang lenggah  mungging ngarsa nata, yekti punika  brahmaning  praja ingkang minangka paran para, yeku pendita ing Sokalima kekasih Dahyang Durna ya Resi Kumbayana. Pendhita putus marang saliring reh saniskara datan kasamaran marang mobah musiking manungsa. Mila wong sak  praja samya ambapa  marang pendhita ing Sokalima. Dene ingkang lenggah amarikelu kaya konjema  pratala wedanane yekti punika warangka nata ing Ngastina akekasih Raden Hariya Suman ya Raden Hariya Sengkuni. Dhasar kadang nata kapernah paman tur ngasta pusaraning praja, lebda marang  reh ingering praja, marma wong sak praja padha wedi asih marang Rekyana Patih Hariya Sengkuni. Dene ingkang lenggah radi kepering  punika Raden Kartamarma, pangeran ngiras paniti sastra lebda marang olah pranataning praja, mila rinten dalu tansah cinaket ing raka nata.

Ing pagelaran andher para mantri bupati saha wadya, jejel ambelabar ngantos dumugi sajawining taratag, kaya andhoyong-ndhyongna pancake sujining alun-alun, kadheseging wadya kang samya seba, abra maneka warna busananira  kawuryan pindha sekar setaman yayah hanyuremna sunaring Hyang Pratanggapati. Ing alun-alun pepandhen umbul-umbul, lelayu, bandera, rontek, payung bawat, tinon angendanu pindha mendhung. Mangkana sang nata asung sasmita dhateng Rekyana Patih Hariya Sengkuni pratandha wiwitaning sabda.